Pada jaman dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Aji Saka. Selain tampan, Aji Saka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang satria mempunyai dua orang punggawa yang bernama Dora dan Sembada. Kedua punggawa itu sangat setia kepada pemimpinnya yang sama sekali tidak pernah mengabaikan perintah pemimpinnya. Pada suatu hari, Aji Saka berkeinginan pergi berkelana meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Aji Saka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya. Pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan. Rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan Medhangkamulan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu Dewata Cengkar. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewata Cengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapan puluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.
Pada saat itulah Aji Saka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. Aji Saka heran melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Aji Saka lalu menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Aji Saka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu, namun Aji Saka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya diapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk
menjadi santapannya. Aji Saka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalkan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang Prabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Aji Saka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewata Cengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Aji Saka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Aji Saka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Aji Saka mengutus Dora pergi kembali ke Pulau Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulau Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Aji Saka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Aji Saka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Aji Saka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut.
Jika kesemua aksara diatas dirangkai maka akan mempunyai arti : Ada utusan yang saling berselisih pendapat, yang mempunyai kekuatan sama-sama sakti, dan akhirnya kedua-duanya sama-sama mati.
Sumber: http://www.geocities.com/sesotya_pita/carakan/ajisaka.htm
By, Sapro
walah udah lupa huruf jawa nih...
BalasHapuspadahal dulu pinter..hehe...
wajib buka buku lagi nih...
BalasHapusmakasih sudah diingatkan.
sekarang q juga lupa menulis aksara jawa hikz hikz
BalasHapusBerkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya makasih
salam blogger
:D
waduh klo orng jawa smw dah lp sm kebudayaanx trs gmn donk??? jangan smpe kt jd kacang lp sm kulitnya........
BalasHapusayo lestarikan budaya kita.......
BalasHapus